Pages

Ads 468x60px

,

Download

Selasa, 11 Juni 2013

DEMOKRASI PENDIDIKAN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan komponen kehidupan manusia yang paling penting, aktifitas ini akan terus berlangsung sejak manusia pertama ada di dunia hingga berahirnya kehidupan dimuka bumi ini.[1] Kesadaran ini memberi kontribusi besar kepada pemerintah untuk membuat undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan rakyat,[2] yaitu membentuk masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman, pluralitas dan kesadaran multikultural. Kemudian salah satu prinsip dari pendidikan demokrasi adalah menciptakan pendidikan yang cerdas dan bermoral.[3]
Berkaitan dengan pernyataan di atas, demokrasi pendidikan merupakan tema yang penulis anggap penting untuk dibahas mengingat kompleksnya permasalahan yang hinggap pada tubuh pendidikan nasional. Penulis awali dari masa pra-orde baru, eklusif dan tidak menerima unsur budaya apapun menjadi corak tersendiri dalam dunia pendidikan nasional. Kemudian dari pendidikan yang ada diarahkan sebagai alat terciptanya para militerisme yang militant yang dapat membela tanah air Indonesia. Sehingga yang terjadi dari kondisi ini pendidikan merupakan produksi manusia yang kerdil dalam pemikirannya, karena tidak adanya proses pengembangan potensi dan kebebasan berfikir.[4]
Kemudian beralih pada masa orde baru, dimana yang menjadi jargon utama pada masa itu adalah pembangunan (peningkatan ekonomi). Pembangunan disini sebenarnya dinilai maju bagi kehidupan rakyat Indonesia. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pemaknaan demokrasi yang justru diseragamkan.[5] Istilah “student centered” seperti yang diangkat oleh Carl Rogers[6] belum ada dan bahkan guru yang mendominasi “teacher centered”. Makna pendidikan menjadikan manusia lebih manusiawi, bermoral, dan menghargai perbedaan tidak muncul sama sekali.[7] Senada dengan yang dikatakan Paul Goodman yang dikutip oleh Ahmad Baedowi tentang pengembangan potensi siswa seakan hanya difasilitasi oleh kurikulum yang kaku dan seragam.[8]
Kemudian beranjak pada masa reformasi yang sekarang ini, pendidikan tidak luput dari masalah-masalah yang ada, akan tetapi dengan kemasan yang berbeda. Dalam UUD 1945 sudah menjadi kesepakatan bahwa pendidikan merupakan suatu hak asasi manusia, dalam arti sudah menjadi hak universal yang diakui oleh umat manusia Indonesia.[9] Akan tetapi jika dilihat dari kenyataannya, lembaga pendidikan yang “bermutu” seakan hanya mampu diakses oleh orang-orang yang “berduit”, pendidikan tinggi berebut menjadi Word Class University  yang pada hakikatnya menjauhkan pendidikan dari jangkauan anak-anak miskin.[10] Dengan kata lain pendidikan menciptakan keadaan masyarakat yang kaya semakin pintar, dan yang miskin semakin terpuruk dalam kebodohan yang mengakar dan mengurat dalam kehidupan.[11] Banyak anak bangsa putus sekolah karena kekurangan biaya seakan menjadi kodrat dari manusia yang hidup di negara subur seperti Indonesia. Hal ini tentunya sangat tidak wajar dan tidak sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:
“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.[12]
Anggaran pendidikan 20% dari APBD dan APBN menuntut prinsip demokrasi benar dijalankan, agar tidak tersumbat di tengah jalan. Kemudian prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional secara jelas diuraikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 bahwa:
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.[13]
Dari pernyataan Undang-undang diatas, sudah jelas bahwa pendidikan nasional tidak menghendaki adanya pemaksaan atas hak asasi manusia dan merampas keberagaman yang ada. Keberagaman merupakan aspek yang perlu dikembangkan potensinya. Masalah yang sampai sekarang dipandang penting adalah kurangnya desentralisasi pendidikan, dimana kita tahu bahwa sistem pendidikan nasional terlalu disentralkan,[14] sehingga corak yang muncul adalah pemerintah kurang percaya kepada guru yang hampir setiap hari berdampingan dengan siswanya, sedangkan pemerintah mengambil alih semua untuk diseragamkan dalam ujian nasional. Standar proses[15] dalam hal ini kurang mendapatkan tempat, melainkan standar nilai yang tidak jarang mendorong guru untuk melakukan kecurangan menjadi dominan.[16]
Selanjutnya jika pendidikan dilihat secara lebih luas, paradigma pendidikan nasional dinilai masih amburadul. Pendidikan dinilai hanya sebagai instrumen kekuasaan politik[17] dan disubordinasikan dalam kekuasaan politik sehingga yang terjadi adalah manusia yang ikut-ikutan, bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control. Pendidikan dikatakan masuk dalam ranah politik dengan bukti bahwa realitas kurikulum dinegara ini sudah ada sejak tahun 1968 kemudian berlanjut 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006.[18]
Demokrasi pendidikan merupakan sebuah konsep pendidikan yang menolak segala permasalahan diatas, sebaliknya demokrasi pendidikan merupakan paradigma pendidikan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam hak asasi manusia menuntut pendidikan yang bersifat terbuka, pendidikan yang inklusi, pendidikan yang tidak memilah-milah masalah kesenjangan yang ada pada siswa, baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, dan lain sebagainya. Sebagai dasar dari demokrasi pendidikan adalah undang-undang dasar sendiri yang merupakan amanat kemerdekaan republik Indonesia dengan kesepakatan rakyat Indonesia.
Selanjutnya demokrasi pendidikan merupakan solusi dan sebagai pengaktualisasi diri dari kiblat pendidikan Indonesia yaitu Pancasila, dimana pendidikan yang sekarang ini harus secepatnya berfikir ulang tentang konsep yang sudah ada untuk diperbaiki. Sudah saatnya pendidikan Indonesia sadar akan kebutuhan masyarakat, disamping pendidikan menjadi tumpuan dan dinamisator masyarakat, pendidikan juga sebagai tiang penyanggah dari kesinambungan masyarakat itu sendiri.[19]



PEMBAHASAN
A.    DEMOKRASI
Demokrasi berasal dari kata demokratia yang merupakan gabungan dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau undang-undang. Jadi yang dimaksud dengan demokrasi adalah kekuasaan atau undang-undang yang berakar pada rakyat atau dalam term politik kekuasaan tertinggi berada pada rakyat.[20] Demokrasi pada awalnya digunakan oleh pencetusnya (Herodot) untuk menyebut sistem pemerintahan tertentu yang dibangun berdasarkan asas rakyat sebagai sumber kekuasaan.[21] Demokrasi dalam kamus ilmiah adalah pemerintahan atas asas kerakyatan; pemerintahan rakyat.[22] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang  mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perilakuan yang sama bagi semua warga Negara.[23] Menurut Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag, inti demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.[24] 
Berbicara tentang demokrasi secara konvensional seakan hanya dibatasi oleh sistem politik, dan itu yang sering menjadi paradigma awal kebanyakan orang. Menurut Prof. Dr. Abd. Assegaf demokrasi  lebih dari sekedar politik akan tetapi demokrasi meliputi  sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan bahkan agama.[25] Demokrasi yang ada di Indonesia bukan semata-mata mengadopsi dunia liberal barat yang memang menjunjung tinggi nilai kebebasan, akan tetapi banyak yang mendominasi seperti marxisme, al-Qur’an dan nilai tradisional Indonesia sendiri.[26]
Demokrasi secara kaca mata politik mempunyai korelasi positif dengan polisentrisme, dan menentang keras adanya monosentrisme atau suatu paham yang mempunyai kecenderungan serba satu dalam pusat kegiatan, sehingga melahirkan resimentasi yang totaliter.[27] Dalam demokrasi, ada nilai fundamental yang dijunjung tinggi sebagai identitas yaitu egalitarianism atau kesetaraan,[28] yang memegang nilai kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi, menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerja sama, persaingan dan kepercayaan.[29]
Dalam kaitannya tentang demokrasi dan pendidikan, John Dewey memandang  pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, lebih dari sebuah persiapan untuk hidup.[30] Sebagai “Way Of Life” tidak dapat mungkin tercapai tanpa adanya pendidikan. Proses pendidikan itu sendiri haruslah merupakan proses yang demokratis.[31]
B.     PENDIDIKAN
H.A.R Tilaar menyatakan bahwa masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi, reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk didalamnya pendidikan.[32]
Pendidikan merupakan kata yang banyak sekali pengertiannya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa pendidikan selalu menarik diperbincangkan sehingga banyak tokoh pendidikan yang mendefinisikan sesuai dengan dasar pemikirannya. John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Kemudian J.J. Rousseau; Pendidikan adalah memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa. Ki Hajar Dewantara; Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.[33] Dalam pengertian ini sangat beragam, akan tetapi dapat di tarik benang merah bahwa pendidikan didalamnya mempunyai beberapa komponen penting yaitu pendidik, peserta didik dan juga bahan untuk pendidikan itu sendiri.
Pendidikan (pedagogi) secara umum bermakna sebagai upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai nilai yang ada pada masyarakat dan kebudayaan[34]. Menurut Ki Hajar Dewantara sebagaimana di kutip dalam buku pendidikan multikultural, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti  (kekuatan batin, karakter), pikiran, dan tubuh anak.[35] Haryanto Al-Fandi memberi kesimpulan dari banyak pengertian bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual dan keberagamaan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan, yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.[36]
Itulah sebagian kecil pengertian pendidikan dari para ahli. Dalam undang-undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 secara jelas dinyatakan bahwa;
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, engendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”.[37]
Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidkan merupakan pengembangan peserta didik secara aktif untuk dikembangkan potensi yang dibawa sejak lahir agar berguna bagi dirinya, masyarakat dan juga negara. Dalam pengertian diatas jelas bahwa makna pendidikan bukan untuk di buat persaingan antar pelajar, yang persaingan itu menyebabkan ketidak jujuran peserta didik itu sendiri. Disini yang ditekankan adalah sikap terbuka antara guru dan juga murid untuk sama-sama aktif demi mewujudkan potensi yang ada pada dirinya sampai ahirnya berguna bagi negara. Sebagai penekanan, didalam pengertian diatas tidak ada istilah ideologi kompetisi dalam pendidikan seperti yang disuarakan oleh Neoliberalisme dalam pendidikan.[38]
Dari banyak pengertian diatas, tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.[39] Kemudian menurut undang-undang SISDIKNAS yang maksud dari manusia seutuhnya adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[40]
C.     DEMOKRASI PENDIDIKAN
Sebelum membahas lebih jauh mengenai demokrasi pendidikan, penulis menganggap penting untuk mengetahui sekilas tentang ideologi pendidikan dimana terdapat arus besar yang saling mempengaruhi dunia pendidikan saat ini. Ideologi besar itu adalah: Konservatifisme, Liberalisme, dan Kritisisme.
Pertama, Konservatif adalah aliran yang berangkat dari aliran filsafat perenialisme dan esensialisme. Konsep-konsep dasar tentang pendidikan cenderung statis (eksklusif), dan cenderung mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan (status quo). Pendidikan tidak lebih hanyalah transfer nilai untuk kemudian dijadikan pedoman hidup.[41]
Kedua, Liberal berangkat dari filsafat rasionalisme Rene deskrates yang membawa pintu pencerahan (aufklarung)  saat itu. Filsafat rasionalis ini membawa pengakuan kembali atas kebebasan, dan pengakuan atas manusia (humanisasi). Dalam masa ini ada tiga aspek yang menjadi jargon utama yaitu: Individualisme, Rasionalisme dan Empirisme yang ketiganya merupakan ciri utama era modern pasca pencerahan.[42]
Ketiga, Kritis yaitu paradigma yang digagas oleh tokoh Paulo Freire. Pendidikan Kritis (critical pedadogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Visi dari pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi, kultural, dan politik yang lebih luas. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga dengan aliran kiri, karena orientasi politiknya berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif.[43]
Dari tiga ideologi pendidikan diatas, selanjutnya mengerucut dan  membahas demokrasi pendidikan yang menurut H.A.R. Tilaar adalah memberikan kesempatan yang sama untuk seluruh rakyat sesuai dengan bakatnya masing-masing untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas,[44] yang secara umum mempunyai fungsi politik dan kebudayaan. Dalam fungsi politik, pendidikan nasional tentunya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme yang sehat pada setiap sikap dan cara berfikir anak. Sedangkan secara kebudayaan adalah untuk menumbuhkan rasa bangga atas kepemilikan suatu budaya nasional sebagai identitas bangsa.[45]
Demokrasi Pendidikan berbeda dengan pendidikan demokrasi, Perbedaan disini terkait dengan penggunaan kedua kata tersebut. Yang pertama atau demokrasi pendidikan lebih menekankan pada sistem pendidikan yang ada, akan tetapi pada pengertian yang kedua (pendidikan demokrasi) mempunyai arti pembebasan peserta didik dalam praksis proses pendidikan didalam kelas.
Demokrasi pendidikan mempunyai empat prinsip yang harus dipegang, yaitu:
a.       Pengakuan atas hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan.
b.      Suatu sistem pendidikan yang terbuka
c.       Pendidikan untuk seluruh rakyat
d.      Tujuan pendidikan adalah manusia yang cerdas dan bermoral.[46]
Sedangkan pendidikan demokrasi memiliki tiga unsur pokok yang harus ada didalamnya yaitu:
a.       Pendidikan yang membebaskan
Yang dimaksud dengan pendidikan yang membebaskan dapat berupa bebas dari kebodohan. Kebodohan dapat berupa bebas dari fanatisme keterikatan terhadap nilai-nilai kelompok atau agama, akan tetapi sikap toleransi terhadap perbedaan tanpa mengurangi kadar keyakinan dalam agama sendiri.[47] Dengan kata lain dalam bahasa istilah orang jawa “Ngono yo ngono, neng ojo ngono”.[48]
Selain bebas dari kebodohan, adakalanya peran pendidikan itu membebaskan dari segala kemiskinan. Kemiskina dalam masyarakat sulit dikembangkan menjadi masyarakat yang demokratis, karena adanya beberapa hasil dari kemiskinan itu sendiri, contoh: iri hati, kemalasan, dan macam-macam sikap negatif lainnya. Lebih jauh Prof. Dr. Munir Mulkhan M.A mengemukakan bahwa demokratisasi juga dapat berarti sebagai pembebasan pendidikan dan manusia yang terlibat didalamnya dari struktur dan system serta perundangan yang menempatkan manusia sebagai komponen. Bahkan demokratisasi juga dapat berarti pembebasan manusia dari ketergantungan atas realitas obyektif yang sering menghambat manusia dalam mengembangkan diri untuk mencapai kualitas hidup diluar  parameter material.[49]
b.      Pendidikan yang mencerdaskan bangsa
Manusia yang sempit cara pandangnya, horizon dalam berfikir, tidak toleran merupakan gambaran manusia yang tidak cerdas. Manusia yang cerdas adalah manusia yang menghargai pendapat orang lain dapat menimbang pendapat orang lain untuk mencari yang terbaik.[50]
c.       Pendidikan yang bermoral demokratis, artinya mewujudkan nilai-nilai demokratis secara substansial dan prosedural.[51]
Sudah dinyatakan diatas, bahwa manusia yang cerdas adalah manusia yang dapat menimbang baik atau buruk untuk mencari yang terbaik (moral). Moral yang dimaksud disini adalah moral yang berdasarkan Pancasila.[52] Dalam pendidikan, sudah seharusnya merupakan pengembangan, pemahaman dan juga pelaksanaan dari kelima sila dalam kehidupan bersama, baik dalam keluarga, masyarakat serta dalam aspek sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. kelima sila tersebut  merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pluralis Indonesia.


KESIMPULAN
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, kemudian dilanjutkan adanya pembahasan mengenai demokrasi pendidikan dapat disimpulkan bahwa inti dari demokrasi pendidikan adalah adanya kesamaan hak dalam sistem pendidikan. Atau dalam bahasa Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf M.Ag demokrasi yang menjadi inti adalah adanya penghormatan terhadap sifat manusiawi. Demokrasi bukan hanya dipakai dalam ranah politik praktis, akan tetapi lebih dari itu demokrasi bermakna lebih luas dalam ranah social, ekonomi dan juga pendidikan.
Dalam pembahasan diatas, demokrasi pendidikan dengan pendidikan demokrasi mempunyi makna yang berbeda menurut H.A.R. Tilaar, dimana demokrasi pendidikan lebih cenderung dalam ranah sistem sedangkan pendidikan demokrasi pada ranah praksis pendidikan didalam kelas yang mengutamakan kesetarahan hak berbicara serta berpendapat.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Fandi, Haryanto. Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, (Yogyakarta: Arruz Media, 2011)
Aditya, Keshna. “Pemain Inti Dunia Pendidikan”, Media Indonesia, Senin 8 April 2013
AH. Sanaky, Hujair. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003)
Assegaf, Abd. Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tirta Wacana, 2004)
Baedowi, Ahmad. “The Power Of Learning Experience”, Media Indonesia, Senin, 8 April 2013.
Baedowi, Ahmad. “Rumah Guru Indonesia”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
Kusumah, Wijaya. “Saatnya Guru Bersuara Lantag”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013
Mustakim, Bagus. Pendidikan Karakter; Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011)
Mahfud, Choirul.  Pendidikan Multikultural,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,  (Yogyakarta:Pinus Book Publisher, 2008)
Nuryatno, Agus. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, Cet.1, 2011)
Penjelasan Atas Uandang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2012)
Saroni, Muhammad. Pendidikan Untuk Orang Miskin, (Yogyakarta: Arruz Media, 2013)
Susetyo, Benny. “Siapa yang Bertanggung Jawab Jika Kebijakan Pendidikan Gagal?”, Media Indonesia, Jumat, 22 Maret 2013
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasionaln Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006)
___________. Kalaedoskop Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2012)
___________. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,2010)
___________. Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa Depan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
___________. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
___________. Multikulturalisme; Tantngan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004)
Tilaar H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer (Edisi Lengkap), (Surabaya: Gita Media Press, 2006)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Bab XIII Ayat 1.
Yamin, Moh. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyakarta: Diva Press, 2012)



[1] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, (Yogyakarta: Arruz Media, 2011), hal. 25.
[2] H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasionaln Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006). hal. 120.
[3] H.A.R Tilaar, Kalaedoskop Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2012), hal. 1110.
[4] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,2010), hal.2.
[5] Ibid., hal.3.
[6] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 74.
[7] Ahmad Baedowi, “The Power Of Learning Experience”, Media Indonesia, Senin, 8 April 2013, hal.27.
[8] Kresnha Aditya, “Pemain Inti Dunia Pendidikan”, Media Indonesia, Senin 8 April 2013. hal.27.
[9] H.A.R Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1110.
[10] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal.14.
[11] Mohammad Saroni, Pendidikan Untuk Orang Miskin, (Yogyakarta: Arruz Media, 2013), hal. 10.
[12] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Bab XIII Ayat 1.
[13] Khoirul Mahfud,  Pendidikan Multikultural,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.47.
[14] H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 6.
[15] Ahmad Baedowi, “Rumah Guru Indonesia”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013, hal. 14.
[16] Wijaya Kusumah, “Saatnya Guru Bersuara Lantag”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013, hal. 14.
[17] Benny Susetyo, “Siapa yang Bertanggung Jawab Jika Kebijakan Pendidikan Gagal?”, Media Indonesia, Jumat, 22 Maret 2013, hal. 10.

[18] Moh. Yamin, Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hal. 17.
[19] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa Depan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 80.
[20] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma…, hal. 84.
[21] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran…., hal 38.
[22] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer (Edisi Lengkap), (Surabaya: Gita Media Press, 2006), hal. 81.
[23] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 242.
[24] Haryanto Al-Fandi, Desain…., hal. 11.
[25] Abdul Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tirta Wacana, 2004), hal. 41.
[26] Haryanto Al-Fandi, Desain…., hal. 12.
[27] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan….., hal. 85.
[28] Bagus Mustakim, Pendidikan Karakter; Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011), hal.78.
[29] Bagus Mustakim, Pendidikan Karakter…., hal.77.
[30] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Mahmud Arif. Terjemahan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 156.
[31] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantngan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004), hal. 181.
[32] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal, 1-2.
[33] Hasbullah, Dasar…., hal. 4.
[34] Choirul Mahfud, Pendidikan….,hal. 32.
[35] Ibid., hal. 33.
[36] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran…., hal. 100.
[37]  Penjelasan Atas Uandang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2012). hal. 2.
[38] M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, Cet.1, 2011), hal. 70.
[39] Hasbullah,  Dasar…, hal. 11.
[40] Penjelasan Uandang-Undang Republik Indonesia…., hal. 40.
[41] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,  (Yogyakarta:Pinus Book Publisher, 2008), hal. 67.
[42] Ibid., hal 72.
[43] M. Agus Nuryatno, Mazhab…., hal.1.
[44] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan…., hal. 7.
[45] H.A.R. Tilaar, Manajemen…., hal. 203. 
[46] H.A.R. Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1110.
[47] Ibid., hal, 1117.
[48] Terjemahan harfiah: begitu ya begitu, namun jangan yang begitu. Nilai ini menggambarkan bahwa dalam konflik hendak melakukan pemilahan secara seksama, mana yang mungkin untuk dilakukan mana yang tidak elok untuk dilakukan. Nilai ini juga mengandung unsur untuk memoderasi konflik, sehingga pilihan berkonflik jangan sampai membuat kedua belah pihak yang berkonflik dalam posisi diametral, hitam putih.
Surwandono, “Rumah Maya Surwandono”, http://surwandono.staff.umy.ac.id, 11 Agustus 2011.
[49] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan…., hal. 97.
[50]  H.A.R. Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1118.
[51] Ibid., hal.1117.
[52] Ibid., hal. 1118.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate