Selasa, 11 Juni 2013
DEMOKRASI PENDIDIKAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan
komponen kehidupan manusia yang paling penting, aktifitas ini akan terus
berlangsung sejak manusia pertama ada di dunia hingga berahirnya kehidupan
dimuka bumi ini.[1]
Kesadaran ini memberi kontribusi besar kepada pemerintah untuk membuat
undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu sistem
pendidikan yang mencerdaskan rakyat,[2]
yaitu membentuk masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman, pluralitas dan kesadaran
multikultural. Kemudian salah satu prinsip dari pendidikan demokrasi adalah
menciptakan pendidikan yang cerdas dan bermoral.[3]
Berkaitan dengan
pernyataan di atas, demokrasi pendidikan merupakan tema yang penulis anggap
penting untuk dibahas mengingat kompleksnya permasalahan yang hinggap pada
tubuh pendidikan nasional. Penulis awali dari masa pra-orde baru, eklusif dan
tidak menerima unsur budaya apapun menjadi corak tersendiri dalam dunia
pendidikan nasional. Kemudian dari pendidikan yang ada diarahkan sebagai alat
terciptanya para militerisme yang militant yang dapat membela tanah air
Indonesia. Sehingga yang terjadi dari kondisi ini pendidikan merupakan produksi
manusia yang kerdil dalam pemikirannya, karena tidak adanya proses pengembangan
potensi dan kebebasan berfikir.[4]
Kemudian beralih pada
masa orde baru, dimana yang menjadi jargon utama pada masa itu adalah
pembangunan (peningkatan ekonomi). Pembangunan disini sebenarnya dinilai maju
bagi kehidupan rakyat Indonesia. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah
pemaknaan demokrasi yang justru diseragamkan.[5]
Istilah “student centered” seperti
yang diangkat oleh Carl Rogers[6]
belum ada dan bahkan guru yang mendominasi “teacher
centered”. Makna pendidikan menjadikan manusia lebih manusiawi, bermoral,
dan menghargai perbedaan tidak muncul sama sekali.[7]
Senada dengan yang dikatakan Paul Goodman yang dikutip oleh Ahmad Baedowi
tentang pengembangan potensi siswa seakan hanya difasilitasi oleh kurikulum
yang kaku dan seragam.[8]
Kemudian beranjak pada
masa reformasi yang sekarang ini, pendidikan tidak luput dari masalah-masalah
yang ada, akan tetapi dengan kemasan yang berbeda. Dalam UUD 1945 sudah menjadi
kesepakatan bahwa pendidikan merupakan suatu hak asasi manusia, dalam arti
sudah menjadi hak universal yang diakui oleh umat manusia Indonesia.[9]
Akan tetapi jika dilihat dari kenyataannya, lembaga pendidikan yang “bermutu”
seakan hanya mampu diakses oleh orang-orang yang “berduit”, pendidikan tinggi
berebut menjadi Word Class
University yang pada hakikatnya
menjauhkan pendidikan dari jangkauan anak-anak miskin.[10]
Dengan kata lain pendidikan menciptakan keadaan masyarakat yang kaya semakin
pintar, dan yang miskin semakin terpuruk dalam kebodohan yang mengakar dan
mengurat dalam kehidupan.[11]
Banyak anak bangsa putus sekolah karena kekurangan biaya seakan menjadi kodrat
dari manusia yang hidup di negara subur seperti Indonesia. Hal ini tentunya
sangat tidak wajar dan tidak sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa:
“Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.[12]
Anggaran pendidikan 20%
dari APBD dan APBN menuntut prinsip demokrasi benar dijalankan, agar tidak
tersumbat di tengah jalan. Kemudian prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional
secara jelas diuraikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 bahwa:
“Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.[13]
Dari pernyataan
Undang-undang diatas, sudah jelas bahwa pendidikan nasional tidak menghendaki
adanya pemaksaan atas hak asasi manusia dan merampas keberagaman yang ada.
Keberagaman merupakan aspek yang perlu dikembangkan potensinya. Masalah yang
sampai sekarang dipandang penting adalah kurangnya desentralisasi pendidikan,
dimana kita tahu bahwa sistem pendidikan nasional terlalu disentralkan,[14]
sehingga corak yang muncul adalah pemerintah kurang percaya kepada guru yang
hampir setiap hari berdampingan dengan siswanya, sedangkan pemerintah mengambil
alih semua untuk diseragamkan dalam ujian nasional. Standar proses[15]
dalam hal ini kurang mendapatkan tempat, melainkan standar nilai yang tidak
jarang mendorong guru untuk melakukan kecurangan menjadi dominan.[16]
Selanjutnya jika
pendidikan dilihat secara lebih luas, paradigma pendidikan nasional dinilai
masih amburadul. Pendidikan dinilai hanya sebagai instrumen kekuasaan politik[17]
dan disubordinasikan dalam kekuasaan politik sehingga yang terjadi adalah
manusia yang ikut-ikutan, bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control. Pendidikan dikatakan
masuk dalam ranah politik dengan bukti bahwa realitas kurikulum dinegara ini
sudah ada sejak tahun 1968 kemudian berlanjut 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006.[18]
Demokrasi pendidikan
merupakan sebuah konsep pendidikan yang menolak segala permasalahan diatas,
sebaliknya demokrasi pendidikan merupakan paradigma pendidikan yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Dalam hak asasi manusia menuntut pendidikan yang
bersifat terbuka, pendidikan yang inklusi, pendidikan yang tidak memilah-milah
masalah kesenjangan yang ada pada siswa, baik dari segi ekonomi, budaya,
sosial, dan lain sebagainya. Sebagai dasar dari demokrasi pendidikan adalah
undang-undang dasar sendiri yang merupakan amanat kemerdekaan republik
Indonesia dengan kesepakatan rakyat Indonesia.
Selanjutnya demokrasi
pendidikan merupakan solusi dan sebagai pengaktualisasi diri dari kiblat
pendidikan Indonesia yaitu Pancasila, dimana pendidikan yang sekarang ini harus
secepatnya berfikir ulang tentang konsep yang sudah ada untuk diperbaiki. Sudah
saatnya pendidikan Indonesia sadar akan kebutuhan masyarakat, disamping
pendidikan menjadi tumpuan dan dinamisator
masyarakat, pendidikan juga sebagai tiang penyanggah dari kesinambungan
masyarakat itu sendiri.[19]
PEMBAHASAN
A.
DEMOKRASI
Demokrasi
berasal dari kata demokratia yang
merupakan gabungan dua kata yaitu demos yang
berarti rakyat dan kratos yang
berarti kekuasaan atau undang-undang. Jadi yang dimaksud dengan demokrasi
adalah kekuasaan atau undang-undang yang berakar pada rakyat atau dalam term
politik kekuasaan tertinggi berada pada rakyat.[20]
Demokrasi pada awalnya digunakan oleh pencetusnya (Herodot) untuk menyebut sistem pemerintahan tertentu yang dibangun
berdasarkan asas rakyat sebagai sumber kekuasaan.[21]
Demokrasi dalam kamus ilmiah adalah pemerintahan atas asas kerakyatan;
pemerintahan rakyat.[22]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perilakuan yang sama bagi semua warga Negara.[23]
Menurut Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag, inti demokrasi adalah
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.[24]
Berbicara
tentang demokrasi secara konvensional seakan hanya dibatasi oleh sistem
politik, dan itu yang sering menjadi paradigma awal kebanyakan orang. Menurut
Prof. Dr. Abd. Assegaf demokrasi lebih
dari sekedar politik akan tetapi demokrasi meliputi sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan
bahkan agama.[25]
Demokrasi yang ada di Indonesia bukan semata-mata mengadopsi dunia liberal
barat yang memang menjunjung tinggi nilai kebebasan, akan tetapi banyak yang
mendominasi seperti marxisme, al-Qur’an dan nilai tradisional Indonesia
sendiri.[26]
Demokrasi
secara kaca mata politik mempunyai korelasi positif dengan polisentrisme, dan menentang keras adanya monosentrisme atau suatu paham yang mempunyai kecenderungan serba
satu dalam pusat kegiatan, sehingga melahirkan resimentasi yang totaliter.[27]
Dalam demokrasi, ada nilai fundamental yang dijunjung tinggi sebagai identitas
yaitu egalitarianism atau kesetaraan,[28]
yang memegang nilai kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi,
menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerja sama, persaingan dan
kepercayaan.[29]
Dalam
kaitannya tentang demokrasi dan pendidikan, John Dewey memandang pendidikan adalah kehidupan itu sendiri,
lebih dari sebuah persiapan untuk hidup.[30] Sebagai “Way Of Life” tidak dapat mungkin tercapai tanpa adanya pendidikan.
Proses pendidikan itu sendiri haruslah merupakan proses yang demokratis.[31]
B.
PENDIDIKAN
H.A.R Tilaar
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa
transformasi, reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan
perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk didalamnya pendidikan.[32]
Pendidikan
merupakan kata yang banyak sekali pengertiannya. Hal tersebut sebagai bukti
bahwa pendidikan selalu menarik diperbincangkan sehingga banyak tokoh
pendidikan yang mendefinisikan sesuai dengan dasar pemikirannya. John Dewey
berpendapat bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Kemudian J.J. Rousseau; Pendidikan adalah memberi kita pembekalan yang tidak
ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
Ki Hajar Dewantara; Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.[33]
Dalam pengertian ini sangat beragam, akan tetapi dapat di tarik benang merah
bahwa pendidikan didalamnya mempunyai beberapa komponen penting yaitu pendidik,
peserta didik dan juga bahan untuk pendidikan itu sendiri.
Pendidikan (pedagogi) secara umum bermakna sebagai
upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani
maupun rohani, sesuai nilai yang ada pada masyarakat dan kebudayaan[34].
Menurut Ki Hajar Dewantara sebagaimana di kutip dalam buku pendidikan
multikultural, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi
pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran, dan tubuh anak.[35]
Haryanto Al-Fandi memberi kesimpulan dari banyak pengertian bahwa pendidikan
pada hakekatnya merupakan usaha untuk membantu, melatih, dan mengarahkan anak
melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual dan keberagamaan sesuai
dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang
dicita-citakan, yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian
yang utama.[36]
Itulah sebagian
kecil pengertian pendidikan dari para ahli. Dalam undang-undang SISDIKNAS Nomor
20 Tahun 2003 secara jelas dinyatakan bahwa;
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, engendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara”.[37]
Dalam pengertian ini, jelas
bahwa pendidkan merupakan pengembangan peserta didik secara aktif untuk
dikembangkan potensi yang dibawa sejak lahir agar berguna bagi dirinya,
masyarakat dan juga negara. Dalam pengertian diatas jelas bahwa makna
pendidikan bukan untuk di buat persaingan antar pelajar, yang persaingan itu
menyebabkan ketidak jujuran peserta didik itu sendiri. Disini yang ditekankan
adalah sikap terbuka antara guru dan juga murid untuk sama-sama aktif demi
mewujudkan potensi yang ada pada dirinya sampai ahirnya berguna bagi negara.
Sebagai penekanan, didalam pengertian diatas tidak ada istilah ideologi
kompetisi dalam pendidikan seperti yang disuarakan oleh Neoliberalisme dalam
pendidikan.[38]
Dari banyak pengertian
diatas, tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.[39]
Kemudian menurut undang-undang SISDIKNAS yang maksud dari manusia seutuhnya
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[40]
C.
DEMOKRASI PENDIDIKAN
Sebelum membahas
lebih jauh mengenai demokrasi pendidikan, penulis menganggap penting untuk
mengetahui sekilas tentang ideologi pendidikan dimana terdapat arus besar yang
saling mempengaruhi dunia pendidikan saat ini. Ideologi besar itu adalah:
Konservatifisme, Liberalisme, dan Kritisisme.
Pertama,
Konservatif
adalah aliran yang berangkat dari aliran filsafat perenialisme dan
esensialisme. Konsep-konsep dasar tentang pendidikan cenderung statis
(eksklusif), dan cenderung mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan
(status quo). Pendidikan tidak lebih hanyalah transfer nilai untuk kemudian
dijadikan pedoman hidup.[41]
Kedua,
Liberal
berangkat dari filsafat rasionalisme Rene deskrates yang membawa pintu
pencerahan (aufklarung) saat itu. Filsafat rasionalis ini membawa
pengakuan kembali atas kebebasan, dan pengakuan atas manusia (humanisasi). Dalam masa ini ada tiga
aspek yang menjadi jargon utama yaitu: Individualisme, Rasionalisme dan
Empirisme yang ketiganya merupakan ciri utama era modern pasca pencerahan.[42]
Ketiga,
Kritis
yaitu paradigma yang digagas oleh tokoh Paulo Freire. Pendidikan Kritis (critical pedadogy) adalah mazhab
pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas
pendidikan. Visi dari pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi, kultural, dan
politik yang lebih luas. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga
dengan aliran kiri, karena orientasi politiknya berlawanan dengan mazhab
liberal dan konservatif.[43]
Dari tiga
ideologi pendidikan diatas, selanjutnya mengerucut dan membahas demokrasi pendidikan yang menurut
H.A.R. Tilaar adalah memberikan kesempatan yang sama untuk seluruh rakyat
sesuai dengan bakatnya masing-masing untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas,[44]
yang secara umum mempunyai fungsi politik dan kebudayaan. Dalam fungsi politik,
pendidikan nasional tentunya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme yang sehat
pada setiap sikap dan cara berfikir anak. Sedangkan secara kebudayaan adalah
untuk menumbuhkan rasa bangga atas kepemilikan suatu budaya nasional sebagai
identitas bangsa.[45]
Demokrasi
Pendidikan berbeda dengan pendidikan demokrasi, Perbedaan disini terkait dengan
penggunaan kedua kata tersebut. Yang pertama atau demokrasi pendidikan lebih
menekankan pada sistem pendidikan yang ada, akan tetapi pada pengertian yang
kedua (pendidikan demokrasi) mempunyai arti pembebasan peserta didik dalam
praksis proses pendidikan didalam kelas.
Demokrasi
pendidikan mempunyai empat prinsip yang harus dipegang, yaitu:
a.
Pengakuan atas hak asasi manusia untuk
memperoleh pendidikan.
b.
Suatu sistem pendidikan yang terbuka
c.
Pendidikan untuk seluruh rakyat
d.
Tujuan pendidikan adalah manusia yang
cerdas dan bermoral.[46]
Sedangkan pendidikan demokrasi memiliki tiga unsur
pokok yang harus ada didalamnya yaitu:
a.
Pendidikan yang membebaskan
Yang dimaksud dengan
pendidikan yang membebaskan dapat berupa bebas dari kebodohan. Kebodohan dapat
berupa bebas dari fanatisme keterikatan terhadap nilai-nilai kelompok atau
agama, akan tetapi sikap toleransi terhadap perbedaan tanpa mengurangi kadar
keyakinan dalam agama sendiri.[47]
Dengan kata lain dalam bahasa istilah orang jawa “Ngono yo ngono, neng ojo ngono”.[48]
Selain bebas dari
kebodohan, adakalanya peran pendidikan itu membebaskan dari segala kemiskinan.
Kemiskina dalam masyarakat sulit dikembangkan menjadi masyarakat yang
demokratis, karena adanya beberapa hasil dari kemiskinan itu sendiri, contoh:
iri hati, kemalasan, dan macam-macam sikap negatif lainnya. Lebih jauh Prof. Dr. Munir Mulkhan M.A mengemukakan bahwa
demokratisasi juga dapat berarti sebagai pembebasan pendidikan dan manusia yang
terlibat didalamnya dari struktur dan system serta perundangan yang menempatkan
manusia sebagai komponen. Bahkan demokratisasi juga dapat berarti pembebasan
manusia dari ketergantungan atas realitas obyektif yang sering menghambat
manusia dalam mengembangkan diri untuk mencapai kualitas hidup diluar parameter material.[49]
b.
Pendidikan yang mencerdaskan bangsa
Manusia yang sempit
cara pandangnya, horizon dalam berfikir, tidak toleran merupakan gambaran
manusia yang tidak cerdas. Manusia yang cerdas adalah manusia yang menghargai
pendapat orang lain dapat menimbang pendapat orang lain untuk mencari yang
terbaik.[50]
c.
Pendidikan yang bermoral demokratis,
artinya mewujudkan nilai-nilai demokratis secara substansial dan prosedural.[51]
Sudah dinyatakan
diatas, bahwa manusia yang cerdas adalah manusia yang dapat menimbang baik atau
buruk untuk mencari yang terbaik (moral). Moral yang dimaksud disini adalah
moral yang berdasarkan Pancasila.[52] Dalam
pendidikan, sudah seharusnya merupakan pengembangan, pemahaman dan juga
pelaksanaan dari kelima sila dalam kehidupan bersama, baik dalam keluarga,
masyarakat serta dalam aspek sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. kelima sila
tersebut merupakan nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat pluralis Indonesia.
KESIMPULAN
Berangkat
dari latar belakang masalah di atas, kemudian dilanjutkan adanya pembahasan
mengenai demokrasi pendidikan dapat disimpulkan bahwa inti dari demokrasi
pendidikan adalah adanya kesamaan hak dalam sistem pendidikan. Atau dalam
bahasa Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf M.Ag demokrasi yang menjadi inti adalah
adanya penghormatan terhadap sifat manusiawi. Demokrasi bukan hanya dipakai
dalam ranah politik praktis, akan tetapi lebih dari itu demokrasi bermakna
lebih luas dalam ranah social, ekonomi dan juga pendidikan.
Dalam
pembahasan diatas, demokrasi pendidikan dengan pendidikan demokrasi mempunyi
makna yang berbeda menurut H.A.R. Tilaar, dimana demokrasi pendidikan lebih cenderung
dalam ranah sistem sedangkan pendidikan demokrasi pada ranah praksis pendidikan
didalam kelas yang mengutamakan kesetarahan hak berbicara serta berpendapat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Fandi, Haryanto. Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, (Yogyakarta:
Arruz Media, 2011)
Aditya, Keshna. “Pemain Inti Dunia Pendidikan”, Media Indonesia, Senin 8 April 2013
AH. Sanaky, Hujair. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia,
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003)
Assegaf, Abd. Pendidikan
Tanpa Kekerasan; Tipologi kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tirta
Wacana, 2004)
Baedowi, Ahmad. “The Power Of Learning Experience”, Media Indonesia, Senin, 8 April 2013.
Baedowi, Ahmad. “Rumah Guru Indonesia”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013
Hasbullah, Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
Kusumah, Wijaya. “Saatnya Guru Bersuara Lantag”, Media Indonesia, Senin 29 April 2013
Mustakim, Bagus. Pendidikan
Karakter; Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, (Yogyakarta:
Samudra Biru, 2011)
Mahfud, Choirul.
Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Mu’arif, Liberalisasi
Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta:Pinus Book Publisher, 2008)
Nuryatno, Agus. Mazhab
Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta:
Resist Book, Cet.1, 2011)
Penjelasan Atas Uandang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2012)
Saroni, Muhammad. Pendidikan Untuk Orang Miskin, (Yogyakarta: Arruz Media, 2013)
Susetyo, Benny. “Siapa yang Bertanggung Jawab Jika
Kebijakan Pendidikan Gagal?”, Media
Indonesia, Jumat, 22 Maret 2013
Tilaar, H.A.R. Standarisasi
Pendidikan Nasionaln Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006)
___________. Kalaedoskop
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2012)
___________. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,2010)
___________. Manajemen
Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa Depan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010)
___________. Kekuasaan
dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009)
___________. Multikulturalisme;
Tantngan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Grasindo, 2004)
Tilaar H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Tim Prima Pena, Kamus
Ilmiah Populer (Edisi Lengkap), (Surabaya: Gita Media Press, 2006)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS Bab XIII Ayat 1.
Yamin, Moh. Panduan
Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyakarta: Diva Press, 2012)
http://surwandono.staff.umy.ac.id,
11 Agustus 2011
[1] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran Yang Demokratis &
Humanis, (Yogyakarta: Arruz Media, 2011), hal. 25.
[2] H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasionaln Suatu
Tinjauan Kritis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006). hal. 120.
[3] H.A.R Tilaar, Kalaedoskop Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Kompas, 2012), hal. 1110.
[4] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Rineka Cipta,2010), hal.2.
[5] Ibid., hal.3.
[6] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho,
Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 74.
[7] Ahmad Baedowi, “The Power Of
Learning Experience”, Media Indonesia,
Senin, 8 April 2013, hal.27.
[8] Kresnha Aditya, “Pemain Inti
Dunia Pendidikan”, Media Indonesia,
Senin 8 April 2013. hal.27.
[9] H.A.R Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1110.
[10] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen
Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),
hal.14.
[11] Mohammad Saroni, Pendidikan Untuk Orang Miskin, (Yogyakarta:
Arruz Media, 2013), hal. 10.
[12] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Bab XIII Ayat 1.
[13] Khoirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hal.47.
[14] H.A.R. Tilaar, Membenahi
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 6.
[15] Ahmad Baedowi, “Rumah Guru
Indonesia”, Media Indonesia, Senin 29
April 2013, hal. 14.
[16] Wijaya Kusumah, “Saatnya Guru
Bersuara Lantag”, Media Indonesia,
Senin 29 April 2013, hal. 14.
[17] Benny Susetyo, “Siapa yang
Bertanggung Jawab Jika Kebijakan Pendidikan Gagal?”, Media Indonesia, Jumat, 22 Maret 2013, hal. 10.
[18] Moh. Yamin, Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyakarta: Diva Press,
2012), hal. 17.
[19] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian
Pendidikan Masa Depan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 80.
[20] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma…, hal. 84.
[21] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran…., hal 38.
[22] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer (Edisi Lengkap), (Surabaya:
Gita Media Press, 2006), hal. 81.
[23] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999), hal. 242.
[24] Haryanto Al-Fandi, Desain…., hal. 11.
[25] Abdul Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi
kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tirta Wacana, 2004), hal. 41.
[26] Haryanto Al-Fandi, Desain…., hal. 12.
[27] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan….., hal. 85.
[28] Bagus Mustakim, Pendidikan Karakter; Membangun Delapan
Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, (Yogyakarta: Samudra Biru,
2011), hal.78.
[29] Bagus Mustakim, Pendidikan Karakter…., hal.77.
[30] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Mahmud Arif.
Terjemahan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 156.
[31] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantngan-tantangan Global
Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo,
2004), hal. 181.
[32] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun
Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal,
1-2.
[33] Hasbullah, Dasar…., hal. 4.
[34] Choirul Mahfud, Pendidikan….,hal. 32.
[35] Ibid., hal. 33.
[36] Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran…., hal. 100.
[37]
Penjelasan Atas Uandang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:
Citra Umbara, 2012). hal. 2.
[38] M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi
Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, Cet.1, 2011),
hal. 70.
[39] Hasbullah, Dasar…,
hal. 11.
[40] Penjelasan Uandang-Undang
Republik Indonesia…., hal. 40.
[41] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta:Pinus Book Publisher, 2008), hal.
67.
[42] Ibid., hal 72.
[43] M. Agus Nuryatno, Mazhab…., hal.1.
[44] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan…., hal. 7.
[45] H.A.R. Tilaar, Manajemen…., hal. 203.
[46] H.A.R. Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1110.
[47] Ibid., hal, 1117.
[48] Terjemahan harfiah: begitu ya
begitu, namun jangan yang begitu. Nilai ini menggambarkan bahwa dalam konflik
hendak melakukan pemilahan secara seksama, mana yang mungkin untuk dilakukan
mana yang tidak elok untuk dilakukan. Nilai ini juga mengandung unsur untuk
memoderasi konflik, sehingga pilihan berkonflik jangan sampai membuat kedua
belah pihak yang berkonflik dalam posisi diametral, hitam putih.
Surwandono,
“Rumah Maya Surwandono”, http://surwandono.staff.umy.ac.id,
11 Agustus 2011.
[49] Syamsul Arifin, Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan…., hal. 97.
[50]
H.A.R. Tilaar, Kalaedoskop…., hal.
1118.
[52] Ibid., hal. 1118.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar